KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI SERTA REAKSI UMAT ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Eksistensi pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.
Pemerintahan pada masa orde lama yang dimaksudkan kepada rentang waktu 1945 sampai dengan 1965 diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu, pastilah sejarah mencatat bagaimana pemerintah orde lama memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pemerintahan memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara.
Secara khusus pendidikan Islam dan bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi ke Islaman dalam arti yang seharusnya. Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, pemakalah akan memaparkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kebijakan pendidikan Islam pada masa orde lama ?
2.      Bagaimana kebijakan pendidikan Islam pada masa orde baru ?
3.      Bagaimana kebijakan pendidikan Islam pada masa era reformasi ?
4.      Bagaimana reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah orde lama, orde baru dan masa era reformasi ?
  1. Tujuan Penulisan
1.      Untuk menguraikan tentang kebijakan pendidikan Islam pada masa orde lama.
2.      Untuk menguraikan tentang kebijakan pendidikan Islam pada masa orde baru.
3.      Untuk menguraikan tentang kebijakan pendidikan Islam pada masa era reformasi.
4.      Untuk menguraikan tentang reaksi kebijakan pemerintah pada orde lama, orde baru dan masa era reformasi.

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tututan dan bantuan material dari pemerintah.[1]
Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu :
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/ Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
2.     Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
3.     Musuh-musih RI (Belanda / sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
4.      Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut:
1.     Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di pondok atau madrasah.
2.     Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa.[2]
Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain” (Hanun Asrohah. 1999: 177).
Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.[3]

Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Langkah demi langkah pada akhirnya pendidikan Islam semakin terintegrasikan secara total dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan agama yang telah terintegralkan dengan pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan hukum dalam Rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi: “bahwa pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga ia dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan sesama manusia membangun masyarakatnya, seta membudayakan alam sekitar” (Hanun Asrohah. 1999: 178). Dikukuhkan dalam GBHN berdasarkan TAP MPR No. II/1983. [4]
Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
1.      Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
2.     Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
3.     Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4.     Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
5.     Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya.
Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia. [5]
                                                                                       
  1. Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila.
Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.
Selain itu, dalam Pelita IV di bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin di kembangkan. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan. Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk pendidikan agama Islam yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas Negeri.[6]
Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.[7]
Pada awal – awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal –awal tahun 1970 –an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18  April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal :
1.     Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kebijakan
2.     Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri
3.     Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No. 34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD.

  1. Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Era Reformasi
Pemerintah Orde Soeharto menegaskan kembali tujuan dan cita-cita pendidikan nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR No.II/MPR/1988 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, No. 2 tahun 1989. Inilah UU Pendidikan yang pertama di zaman Orde Soeharto, dan juga UU Pendidikan yang ketiga di Republik ini, setelah sebelumnya telah terbit di zaman Soekarno, yakni Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP) No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954.
Ketetapan ini menjadi landasan dikeluarkannya UU Pendidikan No. 21 tahun 1989. UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini diundangkan dan berlaku sejak 27 Maret 1989. UU ini antara lain menetapkan:
1.      Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (pasal 2)
2.      Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tangungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4)
Tentang pendidikan dan pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.
Menurut Karnadi Hasan, UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.
Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan  UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia  belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah Republik Indonesia masih memberlakukan KTSP sebagai acuan pendidikan secara nasional. Namun penulis yakin bahwa ini bukan akhir dari segalanya, artinya kebijakan-kebijakan tentang dunia pendidikan di Indonesia akan terus disempurnakan, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan bangsa Indonesia.
  1. Reaksi Umat Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah
1.      Pada Masa Orde Lama
Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan madrasah. Dimana menghasilkan suatu laporan pada tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain”.  Hal ini mendapat reaksi yang baik dari masyarakat dimana pemerintah memberi bantuan kepada pondok pesantren dan madrasah agar pengajarannya lebih dipertinggi dan dimodernisasi sesuai dengan zaman dan diberikan bantuan biaya serta sarana prasarana. Kemudian pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Disini apa yang dihasilkan dari peraturan dua menteri tersebut tidak dapat berjalan dengan baik dikarenakan di setiap daerah pendidikan agama ada yang kuat da nada yang lemah sehingga adanya kebijakan tersebut menjadikan perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
1.      Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
2.     Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
3.     Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4.     Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
5.     Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Hasil dari SKB mendapat reaksi dari rakyat dimana hasil yang tertera diatas tersebut terdapat beberapa hal yang membedakan antara daerah yang kuat agamanya dengan daerah yang lemah agamanya dimana pendidikan agama diberikan untuk kelas IV bagi daerah yang lemah agamanya sedangkan daerah yang kuat agamnya akan diberikan pendidikan agama sejak kelas 1 .
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya.
Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia. [8]
           


2.      Pada Masa Orde Baru
Orde Baru memberikan corak baru bagi kebijakan pendidikan agama islam, karena beralihnya pengaruh komunisme ke arah pemurnian pancasila melalui rencana pembangunan Nasional berkelanjutan. Terjadilah pergeseran kebijakan, dari murid berhak tidak ikut serta dalam pelajaran agama apabila mereka menyatakan keberatannya, menjadi semua murid wajib mengikuti pendidikan agama mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hasil dari kebijakan pemerintah tentang pengajaran agama yang diberikan ke semua murid merupakan kewajiban mendapat reaksi yang positif bagi rakyat dimana disini pemerintah tidak membedakan siapapun dalam pengajaran pendidikan agama. Dan menjadikan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan.
Pada awal – awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal –awal tahun 1970 –an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Kebijakan diatas meninbulkan reaksi masyarakat, dimana pemerintah seakan-akan mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Padahal madrasah merupakan suatu lembaga untuk pendidikan agama bagi masyarakat. Kemudian Pemerintah memaparkan lagi yaitu, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No. 34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD.

3.      Pada Masa Era Reformasi
Ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Dan UU No. 2 tahun 1989 serta peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.


BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
1.      Kebijakan pemerintah pada orde lama yaitu pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mualai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama.
2.      Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan islam dalam konteks madrasah di indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
3.      Kebijakan pemerintah pada era reformasi yeitu Tentang pendidikan dan pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.

  1. Saran
1.      Bila terdapat kesalahan dan kekurangan, kami selaku penulis mohon kritik dan sarannya, demi sempurnanya makalah yang kami buat ini.

 

DAFTAR PUSTAKA
Dra. Zuhairini, dkk.. Sejarah Pendidikan Islam. 1997. cet. 4. Jakarta: Bumi Aksara.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-orde.html
Mustafa dan Abdullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. 1997. Bandung :CV. Pustaka Setia.
Nizar, H. Samsul.  Sejarah Pendidikan Islam . 2007. Jakarta: Kencana.
Nizar , Prof. Dr. H. Samsul, M. Ag, Sejarah Pendidikan Islam. 2008 . Jakarta: Kencana.




[1] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 345.
[2] Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, cet. 4, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 153.
[3] Ibid., hlm. 154.
[4] http://immtarbiyahpwt.blogspot.com/2011/09/sejarah-pendidikan-islam-masa-orde-lama.html

[5] Dra. Zuhairini, dkk , Op. Cit., hlm. 155.
[6] Ibid., hlm. 156-157.                            
[7]H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 36.
[8] Dra. Zuhairini, dkk , Op. Cit., hlm. 155.

Post a Comment for "KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI SERTA REAKSI UMAT ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI"