DINAMIKA
PENDIDIKAN
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah
Masa’ilul
Fiqih al-Haditsah
Dosen
Pengampu: H. Sholihul Hadi, M. Ag.
Kelompok
5
1.
Anik
Listanti (229017)
2.
Anna
Yunita (2290
3.
Emi
Sholehah (229040)
Fakultas
Tarbiyah Semester 7A
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(INISNU
) JEPARA 2012
Jl.
Taman Siswa No. 09 (Pekeng) Tahunan Jepara 59427
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan
makalah ini dapat penulis selesaikan.
Dengan terselesaikannya makalah yang berjudul “Fiqih
sebagai Suatu Sistem Dinamika Pendidikan”, penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
makalah ini. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tiada tara kepada:
1. Bapak
H. Sholihul Hadi, M. Ag. selaku dosen mata kuliah Masa’ilul Fiqih al-Haditsah
yang telah mencurahkan tenaga dan fikirannya demi terselesaikannya makalah ini.
2. Teman-teman
semua yang telah memberikan semangat serta dorongan demi keberhasilan penulisan
makalah ini.
Teriring
doa dan harapan semoga amal baik dan jasa dari semua pihak tersebut di atas
akan mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.
Penulis
sangat menyadari, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin dalam menyusunan
makalah ini, penulis yakin masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif sebagai bekal menuju
yang lebih baik dan sempurna.
Akhirnya
penulis berharap semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis pribadi dan bagi khazanah keilmuan pendidikan Islam. Amien.
Jepara,Oktober 2012
Penyusun
PENDAHULUAN
Pengajaran
fiqh dalam bentuk apa adanya sekarang ini, menempatkan fiqh seperti terpisah
dan tidak mempunyai ikatan dengan ilmu-ilmu lain,baik ilmu yang serumpun
apalagi dengan ilmu yang berdekatan. Pengajaran fiqh seperti ini menempatkan
fiqh sebagai barang mati yang harus diketahui
dan ditaati dan bukan untuk dipikirkan. Sebagai akibatnya fiqh yang
dahulunya tumbuh subur dan diamalkan secara praktis, kini tinggal sebagai
dokumen dalam kitab fiqh yang tidak dapat dipraktekkan lagi selain bidang
ibadah.
Dalam
kaitan ini perlu adanya pengajaran Fiqh
Terpadu, artinya pelajaran Fiqh,Tafsir, Hadis, Usul Fiqh dan ilmu-ilmu lain
yang berkaitan secara serempak diberikan dalam waktu yang sama. Gagasan Fiqh
Terpadu yang dimaksudkan bahwa pada saat fiqh menjelaskan masalah perkawinan,
maka pada saat tersebut dibahas pula aspek tafsir, hadis, ushul fiqh dan
berbagai ilmu yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Hal ini tidak berarti
bahwa mata kuliah tafsir, hadis, danushul fiqh tidak perlu diajarkan secara
tersendiri, tapi pada mata kuliah tafsir, hadis dan ushul fiqh itu bukan materi
tafsirnya saja yang diberikan, tapi tafsir sebagai suatu ilmu yang membahas
Al-Qur’an dari berbagai aspek, demikian pula halnya dengan hadis dan ushul
fiqh.
Dengan
latar belakang tersebut, maka penyusun akan menguraikan tentang materi tentang
Fiqh sebagai suatu Sistem Dinamika Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Islam (Fiqh) Sebagai Ilmu
Ahli hukum Islam (Fuqaha) mendefinisikan fiqh dalam dua sisi, yaitu fiqh
sebagai ilmu dan fiqh sebagai hasil ilmu. Sisi yang terakhir ini disebut dengan
kumpulan hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad. Fiqh sebagai ilmu
didefinisikan oleh Abu Zahrah dengan “Ilmu yang mengupayakan lahirnya hukum
syara’ amali dari dalil-dalil rinci”[1]
Fiqh sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan sebagai
berikut:
1.
Dihasilkan dari akumulasi
pengetahuan-pengatahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu.
2.
Pengetahuan-pengetahuan itu
terjaring dalam satu kesatuan sistem.
3.
Mempunyai metode-metode
tertentu.
Pengetahuan-pengetahuan dalam fiqh meliputi pengetahuan tentang dalil
(nas-nas), tentang perintah dan larangan (tuntutan), dan lain-lain.
Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga
tersusun baik. Pengetahuan-pengetahuan itu dapat diakumulasikan dan disusun
dengan baik karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional
dalam suatu sistem tertentu. Pengetahuan tentang dalil itu tidak berdiri
sendiri, melainkan berkaitan dengan pengetahuan tentang perintah dan larangan,
sebab suatu pesan itu berwujud dalil manakala berkaitan makna dengan perintah
atau larangan (tuntutan). Karakteristik yang ketiga bagi fiqh sebagai ilmu
adalah adanya metode-metode tertentu dalam fiqh.[2]
Metode-metode ini meliputi:
1.
Metode deduktif (Istinbat)
yaitu metode penarikan kesimpulan khusus dari dalil-dalil yang umum.
2.
Metode Induktif (Istiqra’i)
yaitu metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta
khusus.
3.
Metode genetika (takwini) yaitu
metode penelusuran titi mangsa dalam mengetahui terbitnya nas dan kualitas nas
(hadis).
4.
Metode dialektika (jadali)yaitu
metode yang menggunakan penalaran melalui pertanyaan-pertanyaan atau
pernyataan-pernyataan yang bersifat tesis dan antitesis.[3]
Dari karakteristik fiqh sebagai ilmu tersebut diatas memperlihatkan bahwa
apapun yang dikeluarkan fiqh adalah suatu produk penalaran (ijtihad) yang
berarti pula menerima konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu. Diantara
konsekuensi konsekuensi itu adalah:
1.
Fiqh sebagai ilmu adalah
skeptis
2.
Fiqh sebagai ilmu bersedia
diuji dan dikaji ulang
3.
Fiqh sebagai ilmu tidak kebal
kritik[4]
Dari kedudukan fiqh sebagai ilmu dengan karakteristik, metode-metode dan
kosekuensi-konsekuensinya tersebut di atas dapat dipahami bahwa kitab-kitab
fiqh yang disusun oleh fuqaha’, disamping masalah-masalah yang menyangkut
masalah-masalah fiqhiyah (furu’iyah), juga sebagai hasil ilmu. Sebagai hasil
ilmu tentu mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu, yaitu bersifat skeptis,
bersedia dikaji ulang dan tidak kebal kritik. Dengan kata lain, hasil-hasil
fiqh sebagai ilmu yang termuat dalam kitab-kitab fiqh itu adalah komoditi
informasi saja yang menunjukkan bahwa para ulama telah membahas masalah-masalah
fiqhiyah. Dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut juga menunjukkan bahwa fiqh
sebagai ilmu tidak pernah berhenti melakukan tugasnya, bahwa dengan
konsekuensi-konsekuensi itu pula fiqh mampu menyesuaikan diri dengan tempat dan
waktu, atau menjadi motivasi lahirnya pembaharuan peradaban manusia dan
konsep-konsepnya yang prospektif.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa kitab-kitab fiqh itu tidak
menuntut pengamalan, atau orang tidak terkait
untuk mengamalkannya, terutama pada bidang-bidang mu’amalat. Jika kitab-kitab
fiqh itu terikat untuk diamalkan, yang akan terjadi adalah kebingungan sebab
didalamnya terdapat bermacam-macam pendapat dan kesimpulan. Dalam fiqh itu
bukan hanya ijtihad untuk menemukan suatu hukum, tetapi juga ijtihad dalam
pelaksanaannya, sebab fiqh dan hasil fiqh sebagai ilmu harus selalu berhubungan
dengan pengamalan manusia. Pemikiran terhadap aspek pelaksanaan fiqh inipun
merupakan kebijaksanaan fiqh juga yang mengharuskan adanya pemikiran.
B.
Keterikatan
Fiqih dengan Disiplin Ilmu lain
Fiqih adalah ilmu tentang seperangkat aturan-aturan
syara’ yang bersifat amali yang menyangkut tingkah laku manusia yang dapat
diramu oleh mujtahid melalui karya ijtihadnya dari dalil-dalil syara’ yang
tafsili. Atau lebih sederhana dikatakan bahwa fiqih adalah karya mujtahid.
Fiqih dalam pengertian ini adalah sesuatu yang dinamis.[5]
Kedinamisan sifat fiqih itu dapat dilihat surut ke
masa Nabi. Pada waktu itu walaupun nama fiqih sebagai ilmu belum ada, namun
aturan tingkah laku untuk umat Islam dalam kehidupan beragama mereka sudah ada
yaitu apa yang dapat mereka pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Dengan membandingkan usaha meramu fiqh dari masa
Nabi ke masa imam-imam mujtahid kemudian, terlihat suatu bentuk usaha yang
dinamis; berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Karenanya
selalu terlihat kaitan yang erat antara fiqh dengan kehidupan social
masyarakat. Hal-hal yang tidak mungkin mengikuti perkembangan hanyalah bidang
ibadah yang semata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Perkembangan pemikiran dalam formula fiqh ini sampai
padasuatu titik melembaganya setiap ajaran menjadi suatu mazdhab yang secara
formal mengakui kebenaran ajaran-ajaran yang sudah melembaga itu. Fiqh yang
pada mulanya berkembang dengan pesat berangsur berhenti geraknya, semakin
lambat sampai mencapai titik stagnasi.[6]
Untuk selanjutnya pengertian fiqh bukan lagi pemahaman terhadap hokum syara’ dari dalilnya,
tetapi telah menjadi pengetahuan tentang pemahaman mujtahid terhadap dalil
syara’ yang telah mereka ramu menjadi kitab fiqh. Seandainya masih ada kegiatan
terhadap fiqh maka yang demikian tidak lagi beralih dari apa yang pernah
dihasilkan oleh mujtahid terdahulu. Fiqh dalam pengertian ini adalah sesuatu yang
statis
Dalam praktek pengajaran fiqh selama ini di
lembaga-lembaga pendidikan kita menempatkan fiqh pada tempat yang terpisah dan
tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan ilmu lainnya, bahkan juga tidak ada
kaitannya dengan Qur’an Hadits, karena tafsir dan hadis itu sendiri juga diajar
tanpa kaitan dengan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajaran fiqh yang diberikan
waktu ini di lembaga pendidikan agama kira-kira sama dengan pengajaran fiqh di
lembaga pendidikan Islam Timur Tengah sekitar 1000 tahun yang lalu.
Pengajaran fiqh dalam bentuk apa adanya sekarang ini
menempatkan fiqh itu sebagai suatu barang mati, yang harus diketahui untuk
ditaati dan bukan untuk difikirkan. Akibatnya sudah sama-samadapat kita rasakan
bahwa fiqh yang dulunya tumbuh subur dan diamalkan secara praktis itu waktu ini
hampir tidak diamalkan lagi di banyak negeri-negeri Islam selain bidang ibadat
dan yang berhubungan dengannya. Alasannya yang pokok adalah tidak dapatnya lagi
fiqh itu menyambung dengan perkembangan social dari suatu negeri.[7]
Pada waktu ini kita sama-sama merasakan keharusan
berpikir tentang masa depan fiqh. Walaupun belum banyak yang berani dan mulai
menyusun kembali dan berpikir tentang fiqh, namun tidaklah terlambat untuk
mulai. Satu diantara cara membangun dan memajukan fiqh itu adalah pengajaran fiqh
di lembaga-lembaga pendidikan.
Pengajaran fiqh harus diubah dan ditinjau kembali.
Ilmu Fiqh harus ditempatkan kembali pada suatu yang dinamis sebagaimana pada
masa-masa yang lalu pada awal perkembangannya. Bentuk pengajaran fiqh harus
berubah. Bukan lagi mengajarkan membaca hasil-hasil karya mujtahid terdahulu,
tetapi mengajarkan cara-cara dan metode yang pernah ditempuh para mujtahid pada
waktunya dalam menghasilkan karyanya. Dalam keadaan begini akan terlihat betapa
eratnya kaitan fiqh dengan disiplin ilmu lainnya.
Mempelajari fiqh harus melibatkan diri secara
simultan dengan Al-qur’an dan Tafsir, dengan ilmu hadis riwayah dan dirayah,
dengan kaidah bahasa Arab, dengan ilmu-ilmu social dan hokum-hukum positif yang
berlaku di Negara yang beragama Islam.
Mempelajari danmengajarkan fiqh tidak lagi hanya
sekedar membaca kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi harus mengkajinya langsung
dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan segala kaidah dan ketentuan dalam
ilmu Tafsir. Begitu pula dihimpun semua hadis-hadis Nabi yang berkenaan, dikaji
dan dianalisa dari segala segi menurut Ilmu Hadis. Segala kaidah bahasa yang
dapat menunjang digunakan secara optimal. Dalam kepada kondisi social umat yang
akan melaksanakannya serta dikaitkan pula kepada hokum positif yang berlaku.
Dengan demikian pengkajian terhadap suatu kasus hokum melibatkan semua disiplin
ilmu yang berhubungan baik secara langsung atau tidak langsung.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disusun suatu
pendapat bahwa Ilmu Fiqh harus dijadikan satu rangkaian yang tidak terputusdari
disiplin ilmu lain, setidak-tidaknya dengan ilmu-ilmu yang serumpun seperti
tafsir, hadis, usul fiqh, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu social yang berdekatan,
supaya ilmu ini menjadi sesuatu yang hidup dan diamalkan secara praktis oleh
umat Islam.
Untuk maksud tersebut di atas , maka pengajaran fiqh
yang paling ideal adalah fiqh terpadu. Maksudnya pelajaran Fiqh, Tafsir, Hadis,
Usul Fiqh dan ilmu lain yang berkaitan secara serempak diberikan dalam waktu
yang sama. Kalau ilmu-ilmu tersebut diberikan secara terpisah maka
masing-masing memerlukan waktu tertentu. Tetapi kalau diberiakn secara serempak
maka persediaan waktu yang banyak itu dapat dihematdan digunakan untuk
pendalaman ilmunya.
Pengajaran fiqh terpadu itu sebenarnya bukan barang
baru, karena pengajaran fiqh pada awalnya sebenarnya dapat dikatakan dalam
bentuk yang terpadu walaupun kita tidak menamakannya demikian. Hasil dari
pengajaran bentuk ini menyebabakan Ilmu Fiqh dapat maju dan berkembang.[8]
Pada tingkat perguruan tinggi sebenarnya sudah dapat
dilaksanakan pengajaran fiqh secara terpadu, karena pengajarannya dalam bentuk
terpisah walaupun dalam bentuk pengantar sudah dimulai di tingkat menengah.
Kesukaran terletak pada kemampuan tenaga pengajar. Dalam bentuk ini diperlukan tenaga
pengajar yang ahli dalam bidang syari’ah secara komprehensif, mendalam dan
menguasai pula ilmu alat yaitu ilmu bahasa dan ilmu penunjang lainnya yaitu
ilmu-ilmu social dan hokum.
Bentuk pengajaran fiqh terpadu seperti ini hendaknya
sudah dapat dimulai, setidak-tidaknya di tempat tertentu sebagai pilot proyek.
Dalam waktu tertentu diadakan evaluasi. Bila terbukti kebaikannya, tidakada
alasan lagi untuk tidak menggunakannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari kedudukan fiqh sebagai ilmu dengan karakteristik, metode-metode dan
kosekuensi-konsekuensinya dapat dipahami bahwa kitab-kitab fiqh yang disusun
oleh fuqaha’, disamping masalah-masalah yang menyangkut masalah-masalah
fiqhiyah (furu’iyah), juga sebagai hasil ilmu. Sebagai hasil ilmu tentu
mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu, yaitu bersifat skeptis, bersedia
dikaji ulang dan tidak kebal kritik. Dengan kata lain, hasil-hasil fiqh sebagai
ilmu yang termuat dalam kitab-kitab fiqh itu adalah komoditi informasi saja
yang menunjukkan bahwa para ulama telah membahas masalah-masalah fiqhiyah.
Dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut juga menunjukkan bahwa fiqh sebagai
ilmu tidak pernah berhenti melakukan tugasnya, bahwa dengan
konsekuensi-konsekuensi itu pula fiqh mampu menyesuaikan diri dengan tempat dan
waktu, atau menjadi motivasi lahirnya pembaharuan peradaban manusia dan
konsep-konsepnya yang prospektif.
Ilmu Fiqh harus
dijadikan satu rangkaian yang tidak terputusdari disiplin ilmu lain,
setidak-tidaknya dengan ilmu-ilmu yang serumpun seperti tafsir, hadis, usul
fiqh, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu social yang berdekatan, supaya ilmu ini menjadi
sesuatu yang hidup dan diamalkan secara praktis oleh umat Islam.
B.
Kata Penutup
Alhamdulillah
dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat illahi Rabbi karena
berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah dengan judul “Fiqh Sebagai Suatu Sistem dinamika Pendidikan.”
Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dengan
segala kemampuan, namun penulis yakin hasilnya masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran selalu penulis harapkan khususnya kepada para
pembaca.
Akhirnya penulis
berdo’a semoga tela’ah penjelasan materi Aqidah Akhlaq Madrasah Aliyah ini
dapat membawa manfaat dan semoga Allah SWT. Selalu menunjukan
kepada kita jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat, bukan
jalan orang yang tersesat. Amin Ya Rabbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Djatnika,
Rahmat, et. al., Perkembangan Ilmu Fiqh
di Dunia Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet. 2.
Khalil,
Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009, Cet. 1
Lubis,
Ibrahim, “Makalah Pembentukan Sistem Fiqh”, http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/09/makalah-pembentukan-sistem-fiqh.html
Lubis,
Ibrahim, “Sejarah
Pemikiran dan Perkembangan Fikih”, http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/sejarah-pemikiran-dan-perkembangan.html
Mu’allim,
Amir dan yusdani, Konfigurasi Pemikiran
Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2001, Cet. 2.
[2]Khalil,
Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009, Cet. 1, hlm. 53
[3]Mu’allim,
Amir dan yusdani, Konfigurasi Pemikiran
Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2001, Cet. 2, Hlm. 30-32
[6]Djatnika,
Rahmat, et. al., Perkembangan Ilmu Fiqh
di Dunia Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet.2, Hlm. 62
Post a Comment for " "