PENGETAHUAN SEBAGAI MATERI PENDIDIKAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM


A. Pendahuluan
                Materi pendidikan biasa juga disebut isi atau kandungan pendidikan dan kurikulum.[1]Materi pendidikan ialah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pendidikan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya tanpa pembekalan anak didik dengan materi pendidikan. Bila rumusan tujuan pendidikan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, tentu saja, materi yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu juga berbeda. Materi pendidikan dalam masyarakat sekuler mesti berbeda dari materi pendidikan dalam masyarakat yang religius. Begitu pula, materi pendidikan masyarakat industri harus berbeda dari materi pendidikan dalam masyarakat agraris.
                Pembicaraan tentang materi pendidikan ditempatkan setelah pembahasan mengenai fitrah manusia dan tujuan pendidikan karena pada hakikatnya, materi pendidikan merupakan alat yang akan dipakai untuk mengubah anak dari kondisi awal (fithrah) menjadi manusia ideal yang dicita-citakan. Setelah dipahami kondisi awal serta tujuan akhir yang diharapkan, perlu diketahui dan dipahami lebih lanjut bahan-bahan yang perlu diberikan kepada anak didik untuk membawa perubahan dimaksud.
Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa materi pendidikan bukan hanya pengetahuan atau bidang-bidang ilmu tertentu yang ditransfer kepada anak didik. Di sinilah terletak perbedaan utama antara pendidikan dengan pengajaran. Dalam pengajaran, yang ditransfer kepada anak didik terfokus hanya pada unsur pengetahuan (ranah kognitif) saja. Sedangkan dalam pendidikan, pengetahuan hanya sebagian dari materi yang mesti diberikan kepada anak didik.[2]
Menurut Brubacher, kurikulum atau materi pendidikan secara garis besar terdiri atas the true, the good, dan the beautiful.[3] Inilah tiga serangkai materi pen-didikan atau kurikulum menurut Brubacher. Dalam uraian lebih lanjut, dijelaskan bahwa pembicaraan tentang the truemenuntut bahasan tentang hakikat pengetahuan. Sementara itu, pembicaraan tentang the gooddan the beautiful merupakan kajian mengenai etika dan estetika. Jadi, tiga serangkai materi pendidikan bagi Brubacher adalah pengetahuan, etika, dan estetika. Seiring dengan itu, Langgulung mengemukakan bahwa secara garis besar, ada 3 hal yang menjadi materi atau isi pendidikan, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan nilai-nilai (value)[4]. Kedua pendapat ini tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Pendapat kedua memperkuat dan melengkapi pendapat pertama. Dari kedua pendapat ini, disimpulkan bahwa materi pendidikan terdiri atas tiga unsur, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan nilai. Inilah yang menjadi acuan dalam bahasan berikut.
                Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, di dalam bahasan berikut ini akan dibicarakan hal-hal yang terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai sebagai materi pendidikan. Masalahnya ialah apa itu pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta apa urgensinya masing-masing, lalu pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang bagaimana yang mesti diberikan kepada anak didik menurut ajaran Islam.  

B. Pengetahuan Sebagai Materi Pendidikan
1. Pengertian Pengetahuan
                Tampaknya, untuk mendefinisikan pengetahuan termasuk pekerjaan rumit. Banyak rumusan telah dikemukakan oleh para pakar dan penulis sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Bertolak dari kecenderungan para ulama Muslim, Al-Syaibany mengemukakan bahwa pengetahuan manusia adalah maklumat, fikiran-fikiran, pengertian-pengertian, tafsiran-tafsiran yang diyakini, hukum-hukum, tanggapan-tanggapan, gambaran yang pasti yang kita capai tentang sesuatu sebagai akibat kita menggunakan pancaindera, akal, atau kedua-duanya sekaligus, atau sebagai akibat dari suatu yang kita peroleh melalui ilham, atau perasaan, atau penglihatan dengan mata, atau melalui kasyaf, atau melalui ajaran agama dan diturunkan melalui wahyu Ilahi.[5]Pengetahuan dapat juga berarti hubungan fikiran yang jelas yang terbentuk pada manusia di antara akalnya dengan sesuatu di luar dirinya sebagai akibat interaksi sadar yang terjadi antara dia dengan alam luar yang mengelilinginya, atau sebagai akibat berbagai proses akal yang menyertai interaksi ini, atau sebagai akibat dari pengaruh intuisi dari ilham atau diterimanya melalui ajaran agama dan wahyu.
Al-Attas mendefinisikan pengetahuan sebagai kedatangan (hushul) makna sesuatu atau suatu objek pengetahuan di dalam jiwa, atau sampainya (wushul) jiwa pada makna sesuatu objek pengetahuan.[6] Dengan kata lain, pengetahuan adalah wujudnya gambaran yang jelas tentang suatu objek yang terbentuk pada jiwa manusia, baik yang diperoleh melalui pancaindera dan proses berfikir maupun diterima melalui wahyu. Berpengetahuan berarti memiliki gambaran tentang suatu wujud tertentu. Mencari pengetahuan berarti berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang suatu objek.
Gambaran itu boleh jadi sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya atau mungkin juga tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Pengetahuan yang benar, tentu saja, adalah eksistensi gambaran yang benar tentang sesuatu objek di dalam diri manusia. Manusia mempunyai keterbatasan dalam menjangkau dan mendapatkan gambaran tentang hakikat yang sesungguhnya dari semua realitas yang ada. Melalui rahmat-Nya, Allah menolong manusia dengan mengutus para Rasul untuk menjelaskan hal-hal yang sulit dijangkau oleh manusia melalui akal fikirannya semata. 

2. Klasifikasi Pengetahuan                
Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai golongan sesuai dengan aspek-aspek yang menjadi dasar pengelompokannya. Secara umum, pengetahuan digolongkan menjadi pengetahuan biasa (ordinary knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan biasa adalah sejumlah pengertian, fikiran, dan gambaran tentang alam luar yang diperoleh manusia dalam hidupnya sehari-hari, yang mencakup wujud-wujud, gerakan-gerakan, dan gejala yang bermacam-macam. Sedangkan, yang dimaksud pengetahuan ilmiah ialah sejumlah pengertian, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang diperoleh para ahli dengan metodologi ilmiah untuk menafsirkan dan menjelaskan berbagai peristiwa di alam.[7] Pengertian ilmiah bersifat empirik karena yang menjadi objeknya adalah segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. 
Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, para ulama merumuskan macam-macam pengetahuan yang mungkin dan perlu dimiliki oleh manusia. Klasifikasi pengetahuan yang dirumuskan para pemikir Muslim ternyata berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena perbedaan sudut pandang dan latar belakang tinjauan masing-masing. Tentu saja, sebagai hasil ijtihad, rumusan yang mereka hasilkan tidak selamanya sama.
Dilihat dari sumber perolehannya, pengetahuan dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan, yaitu pengetahuan naqliyah dan pengetahuan ‘aqliyah. Yang pertama adalah pengetahuan yang berasal dari dzat ghaib (Allah) melalui mekanisme yang disebut wahyu. Yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui usaha dan fungsionalisasi pancaindera dan daya akal manusia. Di sini, pengalaman dan imaginasi manusia menjadi sumber pengetahuan.
                Dilihat dari urgensinya bagi manusia, pengetahuan dapat dkelompokkan menjadi ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Kelompok pertama adalah pengetahuan yang mesti dimiliki oleh setiap individu. Manusia tidak mungkin melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia tanpa memiliki pengetahuan yang masuk kategori ini. Kelompok kedua adalah kelompok pengetahuan yang tidak mesti dimiliki oleh setiap orang. Pengetahuan ini hanya perlu dimiliki oleh sebagian manusia. Tanpa pengetahuan kelompok ini, manusia tidak mungkin menjalani kehidupannya dengan baik sebagai makhluk sosial.
                Selanjutnya, dilihat dari sisi objek yang menjadi sasaran kajiannya, Abdullah mengelompokkan pengetahuan menjadi pengetahuan esensial Islam (al-‘ulum al-syari’iyyat), pengetahuan kemanusiaan (al-’ulum al-insaniyyat), dan pengetahuan kealaman (al-’ulum al-kawniyyat). Pengetahuan esensial Islam adalah pengetahuan yang timbul dan berkaitan dengan al-Quran dan al-Sunnah. Fokus utama dalam kelompok ini adalah segala aturan dan rambu-rambu kehidupan yang diberikan oleh Allah swt. sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kelompok ini sering disebut dengan pengetahuan agama, yang secara keliru, biasa diidentikkan dengan fikih.[8]
                Pengetahuan kelompok kedua (al-’ulum al-insaniyyat) adalah pengetahuan tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Yang masuk ke dalam kelompok ini, di antaranya, ialah psikologi, sosiologi, sejarah, dll. Di sini, perlu ditegaskan bahwa pengetahuan kelompok ini juga bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah, di samping dari pengalaman dan imaginasi. Fokus utama pembahasan pengetahuan ini adalah pemahaman ayat-ayat dan Sunnatullah yang berlaku pada diri manusia, baik secara individual maupun sosial. Meskipun al-Quran dan al-Sunnah bukan buku psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain, namun, di dalam keduanya banyak terdapat isyarat dan petunjuk untuk memahami dan mengembangkan berbagai pengetahuan tersebut.
                Pengetahuan kelompok ketiga yang perlu dijadikan objek kajian dalam pendidikan Islam ialah ayat kawniyyat, pengetahuan tentang alam semesta. Fakus kajian ini adalah pembahasan tentang sunnatullah, ketentuan Allah yang berlaku pada bermacam-macam benda alam yang berada di sekitar manusia. Pembahasan objek ini melahirkan berbagai cabang pengetahuan kealaman seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, dll. Pengetahuan inilah yang memungkinkan manusia sebagai khalifah Allah menguasai alam sebagaimana dimaksud ayat:
وسخر لكم مافىالسموات ومافىالأرض جميعا منه إن فىذلك لآيات لقوم يتفكرون (الجاثية 13 )
Pengetahuan ini merupakan syarat utama bagi manusia untuk mengelola dan memakmurkan alam seperti yang dituntut al-Quran:
هوالذى أنشأكم من الأرض واستعمركم فيها  (هود 61)    

3. Urgensi Pengetahuan Bagi Manusia
Pengetahuan merupakan suatu hal yang diperlukan oleh manusia dalam menjalani hidupnya. Tanpa pengetahuan, manusia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menguasai berbagai cabang pengetahuan. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat yang berperadaban maju adalah mereka yang memiliki dan menguasai pengetahuan yang tinggi. Justru itu, ajaran Islam sangat besar perhatiannya terhadap pengetahuan. Ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, di samping berisi beragam pengetahuan, juga memerintahkan umatnya, baik secara langsung maupun tidak, untuk mencari dan memiliki berbagai pengetahuan yang diperlukan manusia dalam menciptakan hidup yang sejahtera dan bahagia di dunia ini.
Dalam ajaran Islam, ditegaskan bahwa orang yang berpengetahuan tidak sama dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Tidak boleh seseorang menentukan sikap sebelum ia mengetahui segala sesuatu tentang persoalan yang dihadapinya. Hanya orang yang berpengetahuan yang akan takut kepada Allah swt. karena ia menyadari kedudukannya sebagai makhluk yang harus mengabdi kepada khaliknya. Karena itu, seseorang yang menghadapi suatu persoalan diharuskan untuk bertanya kepada orang-orang yang berpengetahuan agar ia tidak salah dalam bersikap dan bertindak.[9]
4. Pengetahuan yang Menjadi Materi Pendidikan dalam Perspektif Islam
Selanjutnya, untuk mengetahui berbagai cabang pengetahuan yang dituntut oleh ajaran Islam agar menjadi materi pendidikan, perlu diingat bahwa tugas hidup manusia adalah mengabdi sebagai khalifah Allah swt. di bumi. Untuk dapat melaksanakan tugas seperti itu, manusia dibekali dengan tiga hal sbb.:
1.       Daya-daya psikis dan fisik yang ada pada dirinya masing-masing sehingga ia dapat melakukan berbagai perbuatan dan menghasilkan beragam karya.
2.      Alam semesta dengan segala isinya yang perlu dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama.
3.      Ajaran agama sebagai pedoman untuk bertindak agar tidak menyimpang dari kehendak dan ketentuan-Nya.
Ketiga bekal ini harus difungsikan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya secara benar dan optimal. Pemanfaatan ketiganya merupakan bagian dari wujud syukur kepada Allah yang telah memberikannya.
Untuk dapat memanfaatkan ketiga pemberian Allah ini, manusia perlu memiliki berbagai macam pengetahuan. Secara garis besar, pegetahuan yang perlu dimiliki manusia mencakup pengetahuan-pengetahuan sosial, alam, dan agama. Dengan pengetahuan sosial, manusia dapat mengembangkan dan membina hidup bermasyarakat secara baik, aman, dan tenteram. Selanjutnya, dengan pengetahuan alam, manusia dapat memanfaatkan alam dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya. Tanpa pengetahuan sosial dan alam (ayat-ayat kauniah), manusia tidak mungkin akan mampu mengolah, memelihara, dan memanfaatkan alam untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Berbagai kebutuhan hidup tidak akan terpenuhi dengan baik sebagaimana mestinya. Manusia akan saling memangsa dan hidup dalam keadaan miskin dan menderita. Kebudayaannya tidak akan berkembang. Kemajuan dunia Islam di Masa Klasik serta dunia Barat di Masa Moderen didukung oleh penguasaan pengetahuan kelompok ini.
Pada sisi lain, tanpa pengetahuan agama (ayat-ayat Quraniah), manusia tidak akan berhasil menjalani hidupnya sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah yang menciptakannya. Tanpa agama, manusia mungkin dapat hidup dengan baik sesuai dengan selera dan kehendaknya, yang sering tidak sejalan dengan kehendak Allah yang menciptakannya. Akan tetapi, kehidupan demikian akan berjalan di luar jalur yang telah ditetapkan Penciptanya. Justru itu, kesejahteraan dan kebahagiaan tanpa agama yang dirasakan manusia bersifat semu, tidak hakiki. Oleh karena itu, setiap orang harus memiliki pengetahuan agama yang cukup dan fungsional.
Masing-masing dari ketiga kelompok pengetahuan ini, ada yang wajib dimiliki oleh setiap individu (kewajiban yang bersifat fardhu ‘ain) dan ada pula yang hanya perlu dimiliki oleh sebagian orang dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan (kewajiban yang bersifat fardhu kifayah). Misalnya, pengetahuan tentang shalat, puasa, akhlak yang baik, makanan yang bergizi, sumber-sumber penyakit yang dapat mengancam manusia, merupakan sebagian pengetahuan yang harus dipunyai oleh setiap individu, apa pun jabatan dan profesinya. Sebaliknya, pengetahuan tentang pertanian, kedokteran, dan lain-lain cukup dimiliki oleh beberapa orang anggota masyarakat.  

[1]Pada mulanya, kata kurikulum berarti “jarak tempuh” atau “lintasan” yang mesti dilalui oleh seorang pelari dalam suatu lomba lari. Kemudian, kata ini dipakai untuk sesuatu yang harus didapatkan oleh seorang anak didik dalam proses pendidikan agar tujuan pendidikan tercapai. Dalam pengertian ini, kurikulum berarti bahan atau materi pendidikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, kata kurikulum tidak hanya berarti bahan pendidikan, tetapi juga mencakup berbagai hal yang terkait.Hal itu dimungkinkan karena penyusunan bahan pendidikan (baca: pengajaran) selalu disertai dengan rumusan-rumusan yang berkaitan dengan tujuan, strategi, sarana, dan lain-lain.  
[2]Salah satu problem pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah, muncul sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap pembinaan unsur keterampilan dan nilai. Pada umumnya, perhatian hanya tertuju kepada pemupukan pengetahuan. Hal itu terlihat dengan jelas pada evaluasi hasil pendidikan yang hanya didasarkan atas kemampuan akademik semata, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Produk dari lembaga-lembaga pendidikan seperti ini adalah manusia-manusia yang pintar, tetapi tidak berakhlak. Bahkan, lembaga-lembaga pendidikan keagamaan juga terjebak pada masalah yang sama. Prilaku-prilaku menyimpang, baik dari norma-norma moral maupun agama, sering pula terjadi di lembaga-lembaga pendidikan agama. Kenyataan ini erat kaitannya dengan praktek di lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mementingkan aspek kognitif saja. 
[3]John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., 1978), hal. 155.
[4]Hasan Langgulung, Menimbang Konsep al-Ghazali: Sebuah Pengantar dalam Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali,  Terj. Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat P3M), 1986), hal. xii.
[5]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979), Cet. I, hal. 268.
[6]S.M. al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Penerbit Mizan, 1987), hal. 43. 
[7]Ibid., hal. 269.
[8]Perlu ditegaskan bahwa pengetahuan yang dibawa oleh agama (al-Qurandan al-Sunnah) tidak hanya terbatas pada persoalan halal-haram serta pelaksanaan ibadah mahdhah semata.
[9]Lihat al-Quran surah al-Zumar ayat 9, al-Isra` ayat 36, Fathir ayat 28, dan al-Nahl ayat 43. 

Post a Comment for "PENGETAHUAN SEBAGAI MATERI PENDIDIKAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM"