A. Pendahuluan
Materi pendidikan biasa juga disebut isi atau kandungan pendidikan dan
kurikulum.[1]Materi pendidikan ialah segala
sesuatu yang diberikan kepada anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pendidikan tidak akan tercapai
sebagaimana mestinya tanpa pembekalan anak didik dengan materi pendidikan. Bila
rumusan tujuan pendidikan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya, tentu saja, materi yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu juga
berbeda. Materi pendidikan dalam masyarakat sekuler mesti berbeda dari materi
pendidikan dalam masyarakat yang religius. Begitu pula, materi pendidikan
masyarakat industri harus berbeda dari materi pendidikan dalam masyarakat
agraris.
Pembicaraan tentang materi pendidikan ditempatkan setelah pembahasan mengenai
fitrah manusia dan tujuan pendidikan karena pada hakikatnya, materi pendidikan
merupakan alat yang akan dipakai untuk mengubah anak dari kondisi awal (fithrah)
menjadi manusia ideal yang dicita-citakan. Setelah dipahami kondisi awal serta
tujuan akhir yang diharapkan, perlu diketahui dan dipahami lebih lanjut
bahan-bahan yang perlu diberikan kepada anak didik untuk membawa perubahan
dimaksud.
Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa materi pendidikan bukan hanya
pengetahuan atau bidang-bidang ilmu tertentu yang ditransfer kepada anak didik.
Di sinilah terletak perbedaan utama antara pendidikan dengan pengajaran. Dalam
pengajaran, yang ditransfer kepada anak didik terfokus hanya pada unsur
pengetahuan (ranah kognitif) saja. Sedangkan dalam pendidikan, pengetahuan
hanya sebagian dari materi yang mesti diberikan kepada anak didik.[2]
Menurut Brubacher, kurikulum atau materi pendidikan secara garis besar
terdiri atas the true, the good, dan the beautiful.[3] Inilah tiga serangkai materi pen-didikan atau kurikulum menurut
Brubacher. Dalam uraian lebih lanjut, dijelaskan bahwa pembicaraan
tentang the truemenuntut bahasan tentang hakikat pengetahuan.
Sementara itu, pembicaraan tentang the gooddan the
beautiful merupakan kajian mengenai etika dan estetika. Jadi, tiga
serangkai materi pendidikan bagi Brubacher adalah pengetahuan, etika, dan
estetika. Seiring dengan itu, Langgulung mengemukakan bahwa secara garis besar,
ada 3 hal yang menjadi materi atau isi pendidikan, yaitu pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), dan nilai-nilai (value)[4]. Kedua pendapat ini tidak
bertentangan, tetapi saling melengkapi. Pendapat kedua memperkuat dan
melengkapi pendapat pertama. Dari kedua pendapat ini, disimpulkan bahwa materi
pendidikan terdiri atas tiga unsur, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan nilai.
Inilah yang menjadi acuan dalam bahasan berikut.
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, di dalam bahasan berikut ini akan
dibicarakan hal-hal yang terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai
sebagai materi pendidikan. Masalahnya ialah apa itu pengetahuan, keterampilan,
dan nilai serta apa urgensinya masing-masing, lalu pengetahuan, keterampilan,
dan nilai yang bagaimana yang mesti diberikan kepada anak didik menurut ajaran
Islam.
B. Pengetahuan Sebagai Materi Pendidikan
1. Pengertian Pengetahuan
Tampaknya, untuk mendefinisikan pengetahuan termasuk pekerjaan rumit. Banyak
rumusan telah dikemukakan oleh para pakar dan penulis sesuai dengan
kecenderungannya masing-masing. Bertolak dari kecenderungan para ulama Muslim,
Al-Syaibany mengemukakan bahwa pengetahuan manusia adalah maklumat,
fikiran-fikiran, pengertian-pengertian, tafsiran-tafsiran yang diyakini,
hukum-hukum, tanggapan-tanggapan, gambaran yang pasti yang kita capai tentang
sesuatu sebagai akibat kita menggunakan pancaindera, akal, atau kedua-duanya
sekaligus, atau sebagai akibat dari suatu yang kita peroleh melalui ilham, atau
perasaan, atau penglihatan dengan mata, atau melalui kasyaf, atau melalui
ajaran agama dan diturunkan melalui wahyu Ilahi.[5]Pengetahuan dapat juga berarti hubungan
fikiran yang jelas yang terbentuk pada manusia di antara akalnya dengan sesuatu
di luar dirinya sebagai akibat interaksi sadar yang terjadi antara dia dengan
alam luar yang mengelilinginya, atau sebagai akibat berbagai proses akal yang
menyertai interaksi ini, atau sebagai akibat dari pengaruh intuisi dari ilham
atau diterimanya melalui ajaran agama dan wahyu.
Al-Attas mendefinisikan
pengetahuan sebagai kedatangan (hushul) makna sesuatu atau suatu objek
pengetahuan di dalam jiwa, atau sampainya (wushul) jiwa pada makna
sesuatu objek pengetahuan.[6] Dengan kata lain, pengetahuan adalah wujudnya gambaran yang jelas
tentang suatu objek yang terbentuk pada jiwa manusia, baik yang diperoleh
melalui pancaindera dan proses berfikir maupun diterima melalui wahyu.
Berpengetahuan berarti memiliki gambaran tentang suatu wujud tertentu. Mencari
pengetahuan berarti berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang suatu objek.
Gambaran itu boleh jadi
sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya atau mungkin juga tidak sesuai dengan
kenyataan sebenarnya. Pengetahuan yang benar, tentu saja, adalah eksistensi
gambaran yang benar tentang sesuatu objek di dalam diri manusia. Manusia
mempunyai keterbatasan dalam menjangkau dan mendapatkan gambaran tentang
hakikat yang sesungguhnya dari semua realitas yang ada. Melalui rahmat-Nya,
Allah menolong manusia dengan mengutus para Rasul untuk menjelaskan hal-hal
yang sulit dijangkau oleh manusia melalui akal fikirannya semata.
2. Klasifikasi
Pengetahuan
Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai golongan sesuai
dengan aspek-aspek yang menjadi dasar pengelompokannya. Secara umum,
pengetahuan digolongkan menjadi pengetahuan biasa (ordinary knowledge)
dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan biasa adalah
sejumlah pengertian, fikiran, dan gambaran tentang alam luar yang diperoleh
manusia dalam hidupnya sehari-hari, yang mencakup wujud-wujud, gerakan-gerakan,
dan gejala yang bermacam-macam. Sedangkan, yang dimaksud pengetahuan ilmiah
ialah sejumlah pengertian, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang diperoleh para
ahli dengan metodologi ilmiah untuk menafsirkan dan menjelaskan berbagai
peristiwa di alam.[7] Pengertian ilmiah bersifat empirik
karena yang menjadi objeknya adalah segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh
pancaindera manusia.
Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, para
ulama merumuskan macam-macam pengetahuan yang mungkin dan perlu dimiliki oleh
manusia. Klasifikasi pengetahuan yang dirumuskan para pemikir Muslim ternyata
berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena perbedaan sudut pandang dan latar
belakang tinjauan masing-masing. Tentu saja, sebagai hasil ijtihad, rumusan
yang mereka hasilkan tidak selamanya sama.
Dilihat dari sumber
perolehannya, pengetahuan dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan, yaitu
pengetahuan naqliyah dan pengetahuan ‘aqliyah. Yang pertama adalah pengetahuan yang berasal dari dzat ghaib (Allah)
melalui mekanisme yang disebut wahyu. Yang kedua adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui usaha dan fungsionalisasi pancaindera dan daya akal manusia.
Di sini, pengalaman dan imaginasi manusia menjadi sumber pengetahuan.
Dilihat dari urgensinya bagi manusia, pengetahuan dapat dkelompokkan menjadi
ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Kelompok pertama adalah pengetahuan
yang mesti dimiliki oleh setiap individu. Manusia tidak mungkin melaksanakan
tugas hidupnya sebagai manusia tanpa memiliki pengetahuan yang masuk kategori
ini. Kelompok kedua adalah kelompok pengetahuan yang tidak mesti dimiliki oleh
setiap orang. Pengetahuan ini hanya perlu dimiliki oleh sebagian manusia. Tanpa
pengetahuan kelompok ini, manusia tidak mungkin menjalani kehidupannya dengan
baik sebagai makhluk sosial.
Selanjutnya, dilihat dari sisi objek yang menjadi sasaran kajiannya, Abdullah
mengelompokkan pengetahuan menjadi pengetahuan esensial Islam (al-‘ulum
al-syari’iyyat), pengetahuan kemanusiaan (al-’ulum al-insaniyyat),
dan pengetahuan kealaman (al-’ulum al-kawniyyat). Pengetahuan esensial
Islam adalah pengetahuan yang timbul dan berkaitan dengan al-Quran dan
al-Sunnah. Fokus utama dalam kelompok ini adalah segala aturan dan rambu-rambu
kehidupan yang diberikan oleh Allah swt. sebagai pedoman bagi manusia dalam
menjalani aktivitas kehidupannya. Kelompok ini sering disebut dengan
pengetahuan agama, yang secara keliru, biasa diidentikkan dengan fikih.[8]
Pengetahuan kelompok kedua (al-’ulum al-insaniyyat) adalah pengetahuan
tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Yang
masuk ke dalam kelompok ini, di antaranya, ialah psikologi, sosiologi, sejarah,
dll. Di sini, perlu ditegaskan bahwa pengetahuan kelompok ini juga bersumber
dari al-Quran dan al-Sunnah, di samping dari pengalaman dan imaginasi. Fokus utama
pembahasan pengetahuan ini adalah pemahaman ayat-ayat dan Sunnatullah yang
berlaku pada diri manusia, baik secara individual maupun sosial. Meskipun
al-Quran dan al-Sunnah bukan buku psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain,
namun, di dalam keduanya banyak terdapat isyarat dan petunjuk untuk memahami
dan mengembangkan berbagai pengetahuan tersebut.
Pengetahuan kelompok ketiga yang perlu dijadikan objek kajian dalam pendidikan
Islam ialah ayat kawniyyat, pengetahuan tentang alam semesta.
Fakus kajian ini adalah pembahasan tentang sunnatullah, ketentuan Allah yang
berlaku pada bermacam-macam benda alam yang berada di sekitar manusia.
Pembahasan objek ini melahirkan berbagai cabang pengetahuan kealaman seperti
biologi, fisika, kimia, astronomi, dll. Pengetahuan inilah yang memungkinkan
manusia sebagai khalifah Allah menguasai alam sebagaimana dimaksud ayat:
وسخر لكم مافىالسموات ومافىالأرض جميعا منه إن فىذلك لآيات لقوم يتفكرون
(الجاثية 13 )
Pengetahuan ini
merupakan syarat utama bagi manusia untuk mengelola dan memakmurkan alam
seperti yang dituntut al-Quran:
هوالذى أنشأكم من الأرض واستعمركم فيها (هود 61)
3. Urgensi Pengetahuan Bagi Manusia
Pengetahuan merupakan suatu hal yang diperlukan oleh manusia dalam
menjalani hidupnya. Tanpa pengetahuan, manusia tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat sangat bergantung pada kemampuan
mereka untuk menguasai berbagai cabang pengetahuan. Sejarah telah membuktikan
bahwa masyarakat yang berperadaban maju adalah mereka yang memiliki dan
menguasai pengetahuan yang tinggi. Justru itu, ajaran Islam sangat besar
perhatiannya terhadap pengetahuan. Ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, di samping
berisi beragam pengetahuan, juga memerintahkan umatnya, baik secara langsung
maupun tidak, untuk mencari dan memiliki berbagai pengetahuan yang diperlukan
manusia dalam menciptakan hidup yang sejahtera dan bahagia di dunia ini.
Dalam ajaran Islam, ditegaskan bahwa orang yang berpengetahuan tidak sama
dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Tidak boleh seseorang menentukan
sikap sebelum ia mengetahui segala sesuatu tentang persoalan yang dihadapinya.
Hanya orang yang berpengetahuan yang akan takut kepada Allah swt. karena ia
menyadari kedudukannya sebagai makhluk yang harus mengabdi kepada khaliknya.
Karena itu, seseorang yang menghadapi suatu persoalan diharuskan untuk bertanya
kepada orang-orang yang berpengetahuan agar ia tidak salah dalam bersikap dan
bertindak.[9]
4. Pengetahuan
yang Menjadi Materi Pendidikan dalam Perspektif Islam
Selanjutnya, untuk mengetahui berbagai cabang pengetahuan yang dituntut
oleh ajaran Islam agar menjadi materi pendidikan, perlu diingat bahwa tugas
hidup manusia adalah mengabdi sebagai khalifah Allah swt. di bumi. Untuk dapat
melaksanakan tugas seperti itu, manusia dibekali dengan tiga hal sbb.:
1. Daya-daya psikis dan fisik yang
ada pada dirinya masing-masing sehingga ia dapat melakukan berbagai perbuatan
dan menghasilkan beragam karya.
2. Alam semesta dengan segala isinya
yang perlu dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
hidup bersama.
3. Ajaran agama sebagai pedoman untuk
bertindak agar tidak menyimpang dari kehendak dan ketentuan-Nya.
Ketiga bekal ini
harus difungsikan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya secara benar dan optimal.
Pemanfaatan ketiganya merupakan bagian dari wujud syukur kepada Allah yang
telah memberikannya.
Untuk dapat memanfaatkan ketiga pemberian Allah ini, manusia perlu memiliki
berbagai macam pengetahuan. Secara garis besar, pegetahuan yang perlu dimiliki
manusia mencakup pengetahuan-pengetahuan sosial, alam, dan agama. Dengan
pengetahuan sosial, manusia dapat mengembangkan dan membina hidup bermasyarakat
secara baik, aman, dan tenteram. Selanjutnya, dengan pengetahuan alam, manusia
dapat memanfaatkan alam dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya. Tanpa
pengetahuan sosial dan alam (ayat-ayat kauniah), manusia tidak mungkin akan
mampu mengolah, memelihara, dan memanfaatkan alam untuk mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan bersama. Berbagai kebutuhan hidup tidak akan terpenuhi dengan
baik sebagaimana mestinya. Manusia akan saling memangsa dan hidup dalam keadaan
miskin dan menderita. Kebudayaannya tidak akan berkembang. Kemajuan dunia Islam
di Masa Klasik serta dunia Barat di Masa Moderen didukung oleh penguasaan
pengetahuan kelompok ini.
Pada sisi lain, tanpa
pengetahuan agama (ayat-ayat Quraniah), manusia tidak akan berhasil menjalani
hidupnya sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah yang menciptakannya. Tanpa agama, manusia mungkin dapat hidup dengan baik sesuai dengan selera
dan kehendaknya, yang sering tidak sejalan dengan kehendak Allah yang
menciptakannya. Akan tetapi, kehidupan demikian akan berjalan di luar jalur
yang telah ditetapkan Penciptanya. Justru itu, kesejahteraan dan kebahagiaan
tanpa agama yang dirasakan manusia bersifat semu, tidak hakiki. Oleh karena
itu, setiap orang harus memiliki pengetahuan agama yang cukup dan fungsional.
Masing-masing dari
ketiga kelompok pengetahuan ini, ada yang wajib dimiliki oleh setiap individu
(kewajiban yang bersifat fardhu ‘ain) dan ada pula yang hanya perlu dimiliki
oleh sebagian orang dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan (kewajiban yang
bersifat fardhu kifayah). Misalnya, pengetahuan tentang
shalat, puasa, akhlak yang baik, makanan yang bergizi, sumber-sumber penyakit
yang dapat mengancam manusia, merupakan sebagian pengetahuan yang harus
dipunyai oleh setiap individu, apa pun jabatan dan profesinya. Sebaliknya,
pengetahuan tentang pertanian, kedokteran, dan lain-lain cukup dimiliki oleh
beberapa orang anggota masyarakat.
[1]Pada mulanya, kata kurikulum
berarti “jarak tempuh” atau “lintasan” yang mesti dilalui oleh seorang pelari
dalam suatu lomba lari. Kemudian, kata ini dipakai untuk sesuatu yang harus
didapatkan oleh seorang anak didik dalam proses pendidikan agar tujuan
pendidikan tercapai. Dalam pengertian ini, kurikulum berarti bahan atau materi
pendidikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, kata kurikulum tidak hanya berarti
bahan pendidikan, tetapi juga mencakup berbagai hal yang terkait.Hal itu
dimungkinkan karena penyusunan bahan pendidikan (baca: pengajaran) selalu
disertai dengan rumusan-rumusan yang berkaitan dengan tujuan, strategi, sarana,
dan lain-lain.
[2]Salah satu problem pendidikan
di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah, muncul sebagai akibat kurangnya
perhatian terhadap pembinaan unsur keterampilan dan nilai. Pada umumnya,
perhatian hanya tertuju kepada pemupukan pengetahuan. Hal itu terlihat dengan
jelas pada evaluasi hasil pendidikan yang hanya didasarkan atas kemampuan
akademik semata, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Produk dari
lembaga-lembaga pendidikan seperti ini adalah manusia-manusia yang pintar,
tetapi tidak berakhlak. Bahkan, lembaga-lembaga pendidikan keagamaan juga
terjebak pada masalah yang sama. Prilaku-prilaku menyimpang, baik dari
norma-norma moral maupun agama, sering pula terjadi di lembaga-lembaga
pendidikan agama. Kenyataan ini erat kaitannya dengan praktek di
lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mementingkan aspek kognitif saja.
[3]John S. Brubacher, Modern
Philosophies of Education, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing
Company Ltd., 1978), hal. 155.
[4]Hasan Langgulung, Menimbang
Konsep al-Ghazali: Sebuah Pengantar dalam Fathiyah Hasan
Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, Terj. Ahmad Hakim dan
M.Imam Aziz, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat P3M),
1986), hal. xii.
[5]Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979), Cet. I, hal. 268.
[6]S.M. al-Naquib al-Attas, Konsep
Pendidikan Dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Penerbit Mizan,
1987), hal. 43.
[8]Perlu ditegaskan bahwa
pengetahuan yang dibawa oleh agama (al-Qurandan al-Sunnah) tidak hanya terbatas
pada persoalan halal-haram serta pelaksanaan ibadah mahdhah semata.
Post a Comment for "PENGETAHUAN SEBAGAI MATERI PENDIDIKAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM"