BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW. Dengan memperhatikan
marhalah-marhalah yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyoroti
langkah-langkah itu dan menolong kita dalam meneliti satu persatunya dengan
sehalus mungkin, yaitu: ilmu nasikh mansukh, yang dapat dipandang sebagi suatu
cara pengangsuran didalam turunnya wahyu.
Pengetahuan yang mendalam dalam
bidang ini, memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian
dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan Al-qur’an dan memperlihatkan
kepada kita, hikmah Allah dalam mendidik makhluk, bahkan menerangkan kepada
kita bahwasannya Al-qur’an dating dari Allah, karena Allahlah yang menghapuskan
mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki, tanpa ada seseorang
pun yang turut campur.
Syari’at langit turun dari
Allah Kapada Rasul-nya untuk memperbaiki manusia itu dalam bidang akidah,
ibadah dan mu’amalah. Akidah itu hanya satu. Disini tidak terlepas terjadinya
perubahan-perubahan guna untuk menegakkan tauhid keTuhanan. Sebenarnya dakwah
skalian rasul-rasul itu adalah sama. Kita harus percaya bahwa dalam qur’an
tidak ada pembatalan. Semua ayat-ayatnya sudah pasti dan tetap yang harus kita
amalkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nasakh
Secara etimologi, nasakh berarti
pembatalan, penghapusan dan peniadaan.
Secara istilah yaitu, membatalkan suatu hukum dengan
dalil yang dating kemudian. Maksudnya, antara yang menasakhkan dengan yang
dinasakhkan ada suatu masa yang berlaku hukum yang dinasakhkan, dengan arti
seandainya nasakh yang menasakhkan tidak datang tentulah hukum yang telah ada
itu tetap berlaku.[1]
Yang dibatalkan disebut mansukh, sedangkan yang
membatalkan disebut nasikh.
Para
ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa nasakh itu baru dianggap benar apabila:
1.
Pembatalan itu
dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari syara’ (Allah dan
Rasulnya). Yang membatalkan ini disebut dengan nasakh. Dengan demikian habisnya
masa berlaku suatu hukum pada seseorang, seperti wafatnya seseorang atau
hilangnya kecakapan bertindak hokum seseorang atau hilangnya illat (motivasi)
hokum, tidak dinamakan nasakh.
2.
Yang dibatalkan
itu adalah hokum syara’ dan disebut dengan mansukh. Pembatalan hukum
yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang sumbernya bukan syara’ atau
pembatalan adat istiadat jahiliyah melalui khittab (tuntunan) syara’.
Tidak dinamakan nasakh.
3.
Hukum yang
membatalkan hokum terdalulu, datangnya kemudian.artinya hukum syara’ yang
dibatalkan itu lebih dahulu datangnya dari pada hukum yang membatalkan.[2]
B.
Rukun
Nasakh
Rukun nasakh itu ada enpat,yaitu:
1.
Adah al-nasakh,
yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum
yang telah ada.
2.
Nasikh, yaitu
Allah ta’ala, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula yang
membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu pada
hakikatnya adalah Allah.
3.
Mansukh, yaitu
hokum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.
Mansukh ‘anhu,
yaitu orang yang dibebani hukum.[3]
C.
Syarat-syarat
Nasakh
Syarat nasakh ada yang telah disepakati dan ada yang
mash diperselisihkan.
Yang disepakati adalah:
1.
Nasikh harus
terpisah dari mansukh.
2.
Nasikh harus
lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh
3.
Nasikh harus
berupa dalil-dalil syara’
4.
Mansukh tidak
dibatasi pada suatu waktu
5.
Mansukh harus
hukum-hukum syara’
Yang belum disepakati:
1.
Nasikh dan
mansukh tidak satu jenis.
2.
Adanya hokum
baru sebagai pengganti yang dinasakhkan.
3.
Hukum pengganti
lebih berat dari pada hukum yang dinasakhkan.
D.
Macam-macam
Nasakh
a.
Nasakh sharih,
yaitu yang ditegaskan berakhirnya hokum yang dinasakhkan, seperti hadist
tentang ziarah kubur.
b.
Nasakh zimni,
ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan
proporsinya masing-masing, misalnya satu nash positif dan yang lain negatif,
sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat kepada ahli waris
dinasakhkan oleh ayat mawaris.
Nasakh zimni ini
ada dua:
1)
Nasakh terhabap
segala hokum yang dicakup oleh nash terdahulu.
2)
Nasakh juz’i,
yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang dicakup oleh nash
kedua.
dahnya beserta membariskan tulisannya.[4]sedangkan
nasikh secara istilah adalah membatalka Arti naskh secara terminologi adalah menghilangkan.
dikatakan:" matahari menasakh baying-bayang. Pendapat lain mengatakan
bahwa naskh adalah:Memindahkan. Ini terambil dari perkataan mereka "aku
menasikh isi kitab"jika aku meminn pelaksanaan hukum syara' dengan dalil
yang dating kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas atau
implicit(dimni)[5]
Rukun-rukun
naskh
1. Adat al-naskh(ادة النسخ),
yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan(penghapusan) berlakunya hokum yang
telah ada.
2. Nasikh, yaitu Allah karena
dialah yang membuat hokum dan dia pula yang membatalkannya, sesuai kehendaknya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh anhu yaitu orang
yang dibebani hukum.
Syarat-syarat nasakh
Syarat nasakh ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan
Yang telah disepakati yaitu:
a. Nasikh harus terpisah dari
mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau
sama kuatnya dengan mansukh
c. Nasikh harus berupa
dalil-dalil syara'
d. Mansukh tidak dibatasi pada
suatu waktu
e. Mansukh harus hokum-hukum
syara'
Syarat naskh yang belum disepakati
a. nasikh dan mansukh tidak
satu jenis
b. adanya hukum baru sebagai
pengganti yang dinasakhkan
c. hukum pengganti lebih berat
daripada yang dinasahkkan [6]
Macam-macam
nasikh
1.
Al-Qur'an di Nasikh dengan Al-Qur'an
Contoh: pada surat Al-Baqoroh ayat 240 yang artinya
orang-orang yang meninggal diantaramu dan mereka meninggalkan para istri maka
hendaklah mereka berwasiat kepada para istri mereka dengan diberi nafkah hingga
setahun, kemudian di Nasikh dengan ayat yang artinya hendaklah mereka menunggu
dengan diri mereka sendiri selama 4 bulan 10 hari. Menurut Jumrul Ulama' Al-Qur'an di Nasikh dengan Al-Qur'an itu di
perbolehkan.[7]
2. Sunah dinaskhkan dengan Al-qur'an
Macam nasikh ini di perbolehkan menurut jumrul
ulama'. Seperti contoh menghadap
sembayang ke baitul maqdis itu
ditetapkan oleh sunah. Sedangkan didalam Al-Qur'an tidak ada yang menunjukkan
demikian itu. Disini dinasikhkan oleh Al-Qur'an dengan firmannya pada surat
Al-baqoroh ayat 144 yang artinya palinglah mukamu kearah masjidil
haram.menasikh sunah dengan Al-Qur'an ini dilarang oleh syafi'I dalam satu
riwayatnya. Sebab bila diperbolehkan menasikhkannya dengan sunah disamping itu
diperbolehkan pula dengan al-Qur'an maka jelaslah disini bahwa Al-Qur'an itu
setara dengan sunah. [8]
3. As-Sunah di Nasikh dengan As-Sunah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
a. Mutawatir dinasikhkan dengan mutawatir pula
b. Uhad dinasikhkan dengan Uhad pula
c. Uhad dinasikhkan dengan mutawatir
d. Mutawatir dinasikhkan dengan Uhad
4. Al-Qur'an di Nasikh dengan As-Sunah
Yang termasuk ini ada dua macam
a. Al-Qur'an dinasikhkan dengan hadis Uhad. Menurut
jumhur, hal ini tidak diperbolehkan. Karena Al-Qur'an adalah mutawatir, harus
diyakini, sedangkan Uhad itu masih diragukan. Tidak sah membuang yang sudah
diketahui itu dengan dzan (yang masih diragukan)
b. Al-Qur'an itu dinasikhkan dengan sunah mutawatir.
Diperbolehkan oleh imam Malik, Abu hanifah, dan Ahmad bin Hambal. Karena
seluruh Al-Qur'an itu wahyu
Nasikh itu adalah semacam pernyataan. Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa imam Syafi'I, Ahli Zahir, dan Ahmad merasa engggan
menerima nasikh ini.
Contoh: firman Allah yang artinya diwajibkan
kepadamu bilangan kematian sudah menghampiri
salah seorang kamu jika ia meninggalkan harta agar berwasiat kepada dua
orang tua dan kaum kerabat, kemudian dinasikh dengan hadist Turmudzi yang
artinya Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
[9]
BABIII
PENUTUP
KESIMPULAN
Nasaikh adalah membatalkan
suatu hukum dengan dalil yang datang
kemudian. Maksudnya, antara yang menasakhkan dengan yang dinasakhkan ada suatu
masa yang berlaku hukum yang dinasakhkan, dengan arti seandainya nasakh yang
menasakhkan tidak datang tentulah hukum yang telah ada itu tetap berlaku. Didalam nasaikh terdapat syarat-syarat yaitu: Syarat nasakh ada yang
disepakati dan ada yang masih diperselisihkan
Yang telah disepakati yaitu:
a. Nasikh harus terpisah dari
mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau
sama kuatnya dengan mansukh
c. Nasikh harus berupa
dalil-dalil syara'
d. Mansukh tidak dibatasi pada
suatu waktu
e. Mansukh harus hokum-hukum
syara'
Syarat naskh yang belum disepakati
a. nasikh dan mansukh tidak
satu jenis
b. adanya hukum baru sebagai
pengganti yang dinasakhkan
c.
hukum pengganti lebih berat daripada yang
dinasahkkan.
Dan ada juga rukun-rukun nasaikh, macam-macam dan
perdebatan para ulama, Rukun nasakh itu
ada enpat,yaitu:
1.
Adah al-nasakh,
yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang
telah ada.
2. Nasikh, yaitu Allah
ta’ala, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya,
sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu pada hakikatnya adalah
Allah.
3.
Mansukh, yaitu
hokum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.
Mansukh ‘anhu,
yaitu orang yang dibebani hukum.
Macam-macam
nasikh
1.
Al-Qur'an di Nasikh dengan Al-Qur'an
2.
Sunah dinaskhkan dengan Al-qur'an
Macam nasikh ini di perbolehkan menurut jumrul
ulama'.
3. As-Sunah di Nasikh dengan As-Sunah
4. Al-Qur'an di Nasikh dengan As-Sunah
Yang termasuk ini ada dua macam
a. Al-Qur'an dinasikhkan dengan hadis Uhad. Menurut
jumhur, hal ini tidak diperbolehkan.
b. Al-Qur'an itu dinasikhkan dengan sunah mutawatir.
Diperbolehkan oleh imam Malik, Abu hanifah, dan Ahmad bin Hambal. Karena
seluruh Al-Qur'an itu wahyu
Nasikh itu adalah semacam pernyataan. Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa imam Syafi'I, Ahli Zahir, dan Ahmad merasa engggan
menerima nasikh ini.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab, kaidah-kaiadah hukum islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, cet. 2.
Kamal, Muhammad Hasyim, Prinsip dan Teori-teori
Hukum Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Mujiburrahman, Terjemah Syarah Warakat” Kunci
Memahami Ushul Fiqih”.
Umam, Khairul, Ushul Fiqih 1, Bandung:
Pustaka Setia, 1998, cet 1.
[1] Khairul Umam, Ushul Fiqih 1,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), Cet.1, hlm. 195
[3] Ibid.,
hlm. 200
[4]
Ustadz H. Mujiburrahman, Kunci Memahami Ushul Fiqih, mutiara ilmu, Hal.
49
[5]
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
[6]
Drs. Chaerul Umam, DKK. Ushul fiqih 1. Cet 1. 1998. Bandung: CV. Pustaka
Setia. Hal.200
[7]
Halimudin, S. H, Pembahasan Ilmu Al-Qur'an 2, Rineka Cipta, Jakarta,
Hal.36
[8] Ibid,
Hal. 37
[9]
Ustadz H. Mujiburrahman, Kunci Memahami Ushul Fiqih, mutiara ilmu, Hal. 56
[10]
Halimudin, S. H, Pembahasan Ilmu Al-Qur'an 2, Rineka Cipta, Jakarta,
Hal.36
Post a Comment for "Kaidah Penggantian atau Penghapusan Hukum Syar'I (Nasikh)"