KLENIK DAN FATALISME
DALAM BERAGAMA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
kuliyah
Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Drs. Moh. Yasin, M.
Ag
Kelompok
11
1.
Agustina
Panca Khoiroh (229005)
2.
Anik
Listanti (229017)
3.
Arina
Nur Hidayah (229021)
4.
Suliyati (229160)
Fakultas
Tarbiyah Semester 6 A
INSTITUT
ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(INISNU ) JEPARA 2012
Jl. Taman Siswa No. 09 (Pekeng)
Tahunan Jepara 59427
KATA PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta inayahNya sehingga makalah dengan judul “Klenik dan
Fatalisme dalam Beragama” dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliyah Psikologi Agama semester VI INISNU Jepara 2012, disamping itu untuk
menjelaskan, mengembangkan dan mengimplementasikan isi makalah ini, serta
menunjang kemampuan menulis untuk melakukan suatu observasi yang khususnya
terhadap masalah pendidikan. Penyusunan serta materi dalam makalah ini
berdasarkan pada prinsip yang terpadu yang dapat melibatkan penulis untuk mengembangkan minat dan bakat
kemampuan penulis dalam suatu kegiatan yang bermanfaat.
Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih sedalam-dalamnya
atas bantuan, dukungan, saran kritik serta bimbingan, kepada yang terhormat:
1.
Bapak Drs. Moh.
Yasin, M. Ag., selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Agama.
2.
Teman-teman yang
telah memberikan masukan pada makalah ini, dan tidak lupa pada semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini yang tidak dapat disebut namanya
satu persatu.
Dalam
penyusunan makalah ini penyusun menyadari bahwa sebagai manusia biasa, penulis
tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan tersebut. Maka kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan pembuatan berikutnya sangatlah penyusun
harapkan. Demikian pengantar dari penyusun, walaupun masih terdapat kekurangan
namun penyusun sangatlah berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Jepara, Juni 2012
penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………….…i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..........ii
DAFTAR ISI
…………………………...…………………………………….…...iii
BAB I: PENDAHULUAN
- Latar
Belakang ………………………………………………………….….1
- Rumusan
Masalah ………………………………………………….............1
- Tujuan
Penulisan ………………………………………………….…...…..2
BAB II: PEMBAHASAN
- Pengertian
Klenik …………………………………………………….…....3
- Pengertian
Fatalisme ………………………... ..… ……………..………....5
- Pengertian
Klenik dan Fatalisme dalam Bergama …………….... ...……...10
BAB
III: PENUTUP
A.
Kesimpulan
……………………………………………………….....……11
B.
Saran ………………………………………………………………...….....11
DAFTAR PUSTAKA
………………………...……………………………...……12
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat
norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan
bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai
luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan
sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat Yang Supernatural.
Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang
dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi. Sikap keagamaan yang menyimpang
terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama
yang dianutnya mengalami perubahan.Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi
pada orang per orang dan juga pada kelompok atau masyarakat.
Sikap keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan
permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama. Dimana sikap keagamaan yang
menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosiaonal yang lebih
kuat ketimbang aspek rasional.[1]
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik sebuah
rumusan masalah, diantaranya yaitu :
1. Apa
yang dimaksud dengan pengertian klenik ?
2. Apa
yang dimaksud dengan pengertian fatalisme ?
3. Jelaskan
tentang klenik dan fatalisme dalam beragama ?
C.
Tujuan
Penulisan
Dalam makalah ini penulis mempunyai tujuan diantaranya
yaitu :
1. Dapat
mengerti tentang pengertian klenik.
2. Dapat
mengerti tentang pengertian fatalism.
3. Dapat
mengetahui tentang klenik dan fatalisme dalam beragama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Klenik
Klenik dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan
hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,1989:409). Salah
satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi
penganut agama, masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini umumnya
diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional,
ketimbang rasional.[2]
Masalah yang
menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagamaan ini dalam
kehidupan masyarakat sering pula diturunkan ke pribadi-pribadi tertentu. Proses
ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap memiliki kemampuan luar
biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib.
Psikologi agama
yang mempelajari hubungan sikap dan tingkah laku manusia dalam kaitan dengan
agama, agaknya dapat melihat penyimpangan tingkah laku keagamaan sebagai bagian
dari gejala kejiwaan.
Dalam kenyataan
di masyarakat praktek yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir
sama yaitu :
1. Pelakunya
menokohkan diri selalu orang yang suci dan umumnya tidak memiliki latar
belakang yang jelas (asing).
2. Mendakwahkan
diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang berhubungan dengan
hal-hal gaib.
3. Menggunakan
ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4. Kebenaran
ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5. Memiliki
tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.[3]
Suburnya praktek
ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap
agama namun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang tinggi. Kondisi ini
menjadikan masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang tinggi (higly suggestible), sehingga lebih reseptif (mudah menerima) gagasan baru
yang dikaitkan dengan ajaran agama.
Sugesti sendiri
merupakan proses komunikasi yang menyebabkan diterima dan disadarinya suatu
gagasan yang dikomunikasikan tanpa alasan-alasan yang rasional (Thouless:40),
tampaknya memang sering disalahgunakan dalam kasus-kasus keagamaan, terutama
oleh mereka yang memiliki tujuan-tujuan tertentu. Fanatisme keagamaan yang
tidak dilatarbelakangi oleh pengetahuan keagamaan yang cukup tampaknya masih
merupakan lahan subur bagi muncul dan berkembangnya aliran klenik.[4]
Faktor-faktor
lain yang mendukung timbul dan berkembangnya aliran seperti ini adalah
kekosongan spiritual dan penderitaan. Mereka yang memiliki kesadaran beragama
yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya jika mengalami penderitaan
cenderung akan kehilangan pegangan hidup. Di saat-saat seperti ini pula mereka
menjadi sangat sugestibel (mudah menerima sugesti). Oleh karena umumnya dalam
kondisi yang putus asa seperti itu, praktek kebatinan seperti aliran klenik
dianggap dapat menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi
kemelut batin mereka.
Aliran klenik
sebagai bagian dari bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang akan
senantiasa muncul dalam setiap masyarakat, apapun latar belakang
kepercayaannya. Perilaku keagamaan yang menyimpang ini umumnya menyebabkan
orang menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Dengan demikian mereka
membentuk kelompok eksklusif, dan dalam kondisi seperti itu mereka sulit untuk
didekati. Serta mereka umumnya yang terikat dalam aliran tersebut memiliki
keterikatan batin yang kuat dengan pemimpin. Tak jarang atas anjuran pemimpin,
mereka mampu melakukan perbuatan nekad. Kecenderungan seperti ini terkadang
dapat menjelma menjadi tindakan kelompok
yang ekstrim dan merugikan.
Aliran-aliran
klenik ini kemudian dapat pula berkembang menjadi aliran-aliran kepercayaan dan
aliran kebatinan. Dan menurut Prof. Dr. Hamka, aliran ini timbul oleh kekacauan
pikiran lantaran kacaunya ekonomi, sosial dan politik, sehingga mendorong
masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke
dalam daerah khayalan tasawuf.[5]
B.
Pengertian
Fatalisme
Fatalisme dari kata dasar fatal, adalah sebuah sikap seseorang dalam menghadapi
permasalahan atau hidup. Apabila paham seseorang dianggap sangat pasrah dalam segala hal,
maka inilah disebut fatalisme.
Dalam paham fatalisme, seseorang sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa merubahnya.[6]
Beberapa
Pengertian Fatalisme :
a.
Doktrin bahwa segala sesuatu terjadi menurut nasib yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Doktrin ini bersifat prafilosofis :
- Keyakinan
bahwa segala sesuatu pasti terjadi menurut caranya sendiri tanpa
memperdulikan usaha kita untuk menghindari atau mencegahnya. Semua usaha
kita untuk merubah nasib pasti gagal. Apa yang terjadi, pasti
terjadi.
- Individu
merupakan produk kekuatan-kekuatan predeterministis[7]
yang bekerja pada alam semesta. Individu sama sekali tidak dapat mengatur
tingkah laku dan nasibnya, atau nasib sejarah. Tak seorang pun dapat
berbuat lain selain menerima apa adanya dan bertindak sebagaimana
ditentukan.
- Peristiwa-peristiwa
tertentu akan terjadi dalam kehidupan pada saat tertentu dan di tempat
yang sebagaimana ditentukan.
- Dapat
dikatakan, bahwa nasib seseorang telah ditetapkan dan tidak berpautan dengan
pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya. Hari esok berada diluar
kekuasaannya (today is today and tomorrow is another day). Seorang
Fatalis berpikir, bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu pada hari esok.
Apa yang akan terjadi pada hari esok, minggu depan, tahun depan atau
sebentar lagi, tidak ada kaitannya dengan dia. Oleh karena itu, buat apa
dan tidak ada gunanya untuk memikirkan apa yang akan dilakukan.
- Fatalisme
juga merupakan sebuah konsepsi anti-dialektis.[8]
Menurut konsep ini segala proses di dunia, sejak awal telah
ditakdirkan dan diatur oleh suatu keharusan atau keniscayaan dengan
mengesampingkan kebebasan dan usaha kreatif.[9]
b. Dalam filsafat, fatalisme diberi tafsiran sebagai:
a). Kaum Stoik mengajarkan bahwa nasib yang tidak
bisa ditawar-tawar menguasai alam semesta ; dan bahwa setelah kebakaran besar
melanda dunia secara berulang-ulang dan periodik, segala sesuatu dimulai
kembali (Start from beginning).
b). Ajaran Leibniz mengenai harmoni yang sudah
ditentukan sebelumnya (pre-established harmony), interaksi antara monade-monade[10]
sudah ditakdirkan oleh Allah.
c). Prinsip Schelling adalah sistim idealis-obyektif,
jurang antara kebebasan dan keniscayaan meniadakan kemungkinan bagi
individu-individu untuk bertindak bebas.
d). Pemikiran Hegel mempertahankan, dan pada akhirnya
individu adalah semata-mata alat bagi roh mutlak.
e). Thomas Hobbes dan para materialis metafisis
Perancis abad ke -18, menyangkal dan menolak kemungkinan obyektif dan
menyamakan kausalitas dengan keharusan, yang juga menuju pada faham
“Fatalisme”.
Kesimpulan sederhananya , faham Fatalisme adalah pemikiran
dan pengertian, bahwa hidup kita diserahkan pada nasib dan tidak mungkin bisa
kita dapat mengubahnya.
Sikap
pasrah yang mengarah kepada fatalism dapat dikategorikan sebagai tingkah laku
keagamaan yang menyimpang. Sikap seperti ini setidaknya mengabaikan fungsi dan
peran akal secara normal. Padahal agama menempatkan akal pada kedudukan yang
tinggi. Dengan akal manusia mampu membangun peradaban melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Islam sendiri dalam ajarannya memposisikan akal
mengiringi keimanan dalam menentukan derajat pemeluknya.[11]
Seperti dalam Al-Qur’an (QS 58:11), yang artinya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Selain
dari penjelasan diatas, keterkaitan antara ilmu dan agama ini juga dilihat
secara jeli oleh Albert Einstein, dimana ungkapannya yang popular yakni, “bahwa ilmu tanpa agama adalah buta, dan
agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Secara
psikologi, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalism, yaitu
:
1) Pemahaman yang Keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang
sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam
kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya salah tafsir dalam memahami
pesan-pesan kitab suci maupun risalah Rasul. Seperti dalam contoh yang
menyangkut etos kerja. Dimana dalam salah satu hadist yaitu “Al-Dunya sijn al-mu’min wa jannah
al-kafir”. Yang artinya (Dunia adalah
penjara bagi orang beriman dan surge bagi orang kafir). Hadist ini dipahami
oleh banyak kalangan masyarakat sebagai peringatan dan wanti-wanti, bahwa orang
beriman tidak perlu mengejar kehidupan dunia, karena tempatnya sudah dijanjikan
surga.
Pemahaman yang demikian itu akan ikut mempengaruhi pembentukan etos kerja
dan sikap pasrah. Masyarakat Muslim yang terkait dengan pemahaman yang seperti
itu setidaknya akan cenderung mengendorkan kerja kerasnya dalam meningkatkan
prikehidupan dunianya.[12]
2) Otoritas Agamawan
Dalam
komunikasi agama selalu ada pemimpin agama atau agamawan yang jadi panutan
masyarakat pemeluknya. Umumnya reputasi ketokohan dari si pemimpin agama itu
lebih ditentukan oleh kuantitas pendukungnya. Bukan didasarkan oleh kualitas
keberagamaannya. Makin banyak jumlah jamaah yang mendukungnya, maka akan kian
tinggi popularitas pemimpin agama tersebut.
Tanpa
disadari, tak jarang gejala serupa itu ikut memberi pengaruh psikologi terhadap
ego para pemuka agama. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai
kesuksesan diri pribadi yang harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu
ditingkatkan lagi. Salah satu kiatnya yaitu dengan meningkatkan kepercayaan
penuh para pengikut dengan menghilangkan sikap kritis mereka. [13]
Dalam
kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritasnya yang berlebihan,
pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran
agama dijadikan alat untuk menyihir pengikutnya. Sehingga apapun yang dikatakan
oleh pemimpin agama dianggapa sebagai fatwa yang bila dilanggar akan berakibat
buruk. Dalam hal ini pemimpin agama berusaha menciptakan situasi psikologi
pengikutnya melalui otoritas keagamaan yang ia miliki, hingga mempengaruhi
terbentuknya sikap penurut.
- Pengertian Klenik
dan Fatalisme dalam Beragama
Pengertian tentang
klenik dan fatalisme yang sudah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan klenik dan fatalisme dalam beragama adalah suatu hal yang
merupakan penyimpangan agama, dimana sikap seseorang
terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami
perubahan. Diantaranya yaitu menyakini akan sesuatu yang tidak masuk akal dan
tidak sesuai dengan ajaran agama serta bersikap pasrah terhadap nasibnya. Perubahan
sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang dan juga pada kelompok
atau masyarakat.
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi
penyimpangan pada kepercayaan dan keyakinan, sehingga dapat memberi kepercayaan
dan kayakinan baru pada seseorang atau kelompok. Apabila hal tersebut mencapai
tingkat kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu
maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang, baik dalam diri per-orang
(individu) maupun kelompok.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
1.
Klenik adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung
rahasia dan tidak masuk akal.
2.
Fatalisme adalah
sesuatu sikap yang pasrah akan nasib dan takdirnya.
3. Klenik
dan fatalisme dalam beragama adalah suatu hal yang merupakan penyimpangan agama, dimana sikap
seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya
mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per
orang dan juga pada kelompok atau masyarakat.
- Saran
1. Bagi
para Umat Islam agar memperkuat keimanan supaya tidak terjadi penyimpangan
agama seperti klenik dan fatalisme.
2. Bagi
para pembaca makalah ini, apabila terdapat kesalahan dan kekurangan, silakan
memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini menjadi lebih sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Fatalisme
Jalaludin. Psikologi
Agama. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 1998. cet. 3.,
Jalaluddin. Psikologi
Agama. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2009. Edisi Revisi.
Jalaluddin.
Psikologi
Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2002. Edisi Revisi. cet. 6.
J.
P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2009.
Kartini
Kartono dan Dali Gulo. Kamus Psikologi.
Bandung: CV. Pionir Jaya. 2000.
[1] Dr. Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1998), cet. 3., Hlm. 194.
[3] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002), Edisi Revisi, cet. 6., Hlm.255.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Fatalisme
[7] Kartini Kartono dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: CV. Pionir
Jaya, 2000), Hlm. 366.
Predestination yaitu satu pandangan yang
menyatakan, bahwa ada pola yang sudah ditentukan terlebih dahulu (ada pra-determinasi)
yang harus diikuti oleh setiap kejadian.
[8] J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2009), Hlm. 136.
Dialectic yaitu pemikiran dan pertimbangan, khususnya
satu latihan secara ekstensif dalam pemikiran deduktif.
[9] http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=9716
[10] J. P. Chaplin, Op.Cit. Hlm. 308.
Monadism yaitu doktrin yang menyatakan bahwa realitas
itu terdiri atas unit-unit bebas dari keberadaan, baik dari jiwa maupun dari
zat.
[11] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), Edisi Revisi, Hlm. 373.
Post a Comment for "KLENIK DAN FATALISME DALAM BERAGAMA"